Selasa, 10 Februari 2009

Membangun Kontrol Publik terhadap APBD

Oleh: Mulyadi Djaya

Pengantar
Harapan kita dalam era otonomi khusus Papua adalah dirasakannya hasil pembangunan (fisik dan nonfisik) oleh masyarakat. Namun hal tersebut masih jauh dari harapan dengan indikator: kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Kesejahteraan hanya dirasakan oleh kelompok tertentu yang memiliki akses terhadap pundi-pundi ekonomi. Masyarakat bertanya-tanya kemana dana-dana triliun rupiah selama ini bermuara? Benarkah untuk pembangunan? Jawabnya tentu ada pembelokan dan kebocoran anggaran pembangunan. Kebijakan pembangunan tidak efektif. Disinyalir korupsi sudah migrasi ke daerah-daerah. Sayangnya masyarakat (publik) ”lumpuh” untuk melakukan kontrol dan ikut larut dalam ”gaya” permainan pelaksana pembangunan (Pemerintah) tersebut. Tulisan ini membahas sebab-sebab melemahnya kontrol publik terhadap kebijakan Pemda terutama dalam hal penggunaan anggaran (APBD) dan bagaimana solusinya.

Penghabat Pembangunan
Ada tiga masalah besar sebagai penyebab terhambatnya pembangunan di Manokwari yaitu:
1) Membudayanya praktek KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), serta sikap-sikap yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi atau golongannya.
2) Masih rendahnya partisipasi masyarakat luas dalam melaksanakan proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pengawasan jalannya pembangunan.
3) Masih enggannya lembaga-lembaga pemerintah untuk menjalankan nilai-nilai transparansi dan good governance. Keadaan ini menjadi faktor yang menimbulkan pemborosan sumberdaya yang luar biasa, disamping menghambat pencapaian tujuan pembangunan nasional secara optimal.
Usaha untuk menghilangkan hambatan tersebut adalah mengurangi praktek KKN yaitu penegakan hukum, membangkitkan semangat kepedulian masyarakat seperti mengontrol kebijakan pembangunan oleh Pemda, dan Pemda (Eksekutif dan Legislatif) menjalankan nilai-nilai tranparansi dan akuntabilitas.
Banyak kasus penyimpangan pembangunan yang terindikasi KKN yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok/institusi yang diungkap oleh media massa namun Pemda lebih banyak interfensi ”meredam” agar citra Pemda tetap baik di mata publik. Badan pengawas dan penegak hukum kehilangan taring. Laporan masyarakat diabaikan, kasus menggantung di tingkat penyidik.
Kita jangan terlalu banyak berharap kepada media massa dan pengamat sosial untuk kontrol sosial, karena fungsinya hanya sebagai ”jembatan” informasi, yang menentukan adalah masyarakat/publik itu sendiri sebagai pemilik dana dalam bentuk retribusi, pajak dan bentuk sumbangan/pembayaran lainnya. Pemda adalah yang diberi amanah menjalankan tugas dan sudah digaji dari uang publik itu sendiri.
Di satu sisi publik lemah daya kontrolnya sedangkan Pemda tidak mau dikontrol atau membuka akses kontrol. Lemahnya kontrol publik karena selama ini belum dilakukan proses penyadaran, pembelajaran, dan penguatan kepada publik terutama kelompok-kelompok/pekerja sosial yang ada di daerah ini. Pemda sendiri sengaja tidak memberi peluang kepada kelompok sipil tersebut untuk eksis. Artinya, ada ketakutan bila ”rejeki”nya berkurang.
Saya amati tidak pernah ada demonstrasi yang dilakukan masyarakat atau LSM membela kepentingan masyarakat kecil, menuntut mengadili pejabat yang terindikasi korupsi, mengoreksi kinerja atau pelayanan publik oleh pemerintah, tentang kemiskinan, tentang pendidikan dsb. Yang banyak adalah proposal meminta bantuan dana kepada Pemda!? Ada demonstrasi hanya memperjuangkan hak-hak politik yang justru mendapat perlawanan dari Pemerintah dan mudah ditunggangi oleh oknum yang berkepentingan.

Kontrol Publik terhadap APBD
Biaya dan pembangunan tercantum dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang disebut anggaran. Anggaran tersebut diperoleh dari retribusi dan pajak dari masyarakat. Namun sampai saat ini draft APBD begitu sulit untuk diakses. Alasan yang sering kita dengar bahwa draft ini merupakan dokumen rahasia negara yang tidak boleh dikatahui oleh publiknya. Suatu alasan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan dan dibuat-buat.
Sebagai bagian dari pelaksanaan good governance mestinya anggaran publik adalah bersifat terbuka dimana masyarakat dapat dengan leluasa untuk mengakses, mengkritisi sekaligus mengontrol penggunaan anggaran yang tertuang dalam APBD.
Ada dua keuntungan jika menggunakan prinsip transparansi terhadap anggaran masyarakat: 1) bagi masyarakat akses transparansi terhadap anggaran memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mengawasi penggunaan anggaran selama satu tahun baik dalam sisi pendapatan, belanja maupun pembiayaan.Masyarakat dapat mengetahui prioritas penggunaan anggaran bagi pembangunan. 2) bagi Pemda sebagai pemegang mandat atas implementasi anggaran akan lebih berhati-hati agar tidak terjebak dalam lingkaran KKN, paling tidak mempersempit ruang gerak bagi mereka yang mau mencoba menyimpangkan uang masyarakat tersebut.
Tidak terlibatnya masyarakat dalam proses penganggaran, terutama pada tahap perencanaan, merupakan potret penganggaran di Indonesia umumnya. Mekanisme partisipasi yang diciptakan seperti Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) pada dasarnya mekanisme yang semu, karena rakyat (orang-orang tertentu yang diundang) hanya diminta hadir untuk menyetujui program-program yang telah oleh pemerintah, bukan untuk menyampaikan aspirasi berkenaan dengan program yang mereka butuhkan.

Bentuk-bentuk Penyimpangan
Contoh-contoh penyimpangan penggunaan anggaran seperti:
1) Anggaran yang seharusnya digunakan untuk perjalanan dinas PNS, tidak digunakan untuk perjalanan dinas, tetapi digunakan untuk kepentingan lain.
2) Besaran dana yang diperuntukkan untuk pembangunan fisik jalan ”disunat” oleh unit kerja/dinas. Akibatnya kualitas jalan tidak layak, cepat rusak, atau membuka peluang untuk proyek baru lagi.
3) Pada proses tender dengan cara penunjukkan langsung kepada kontraktor yang berani memberi uang kepada pemberi proyek, tender semu hanya formalitas, pemenangnya sudah diketahui sebelumnya.
4) Pemotongan-pemotongan yang dilakukan oleh oknum aparat pemerintah. Misalnya dana yang dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat Arfak sebesar 1 milyar rupiah, kenyataan yang diterima oleh masyarakat tidak sebesar yang ditetapkan karena sudah mengalami pemotongan-pemotongan pada proses penyaluran dana, dsb.

Secara umum kondisi anggaran APBD ditandai oleh permasalahan:
1) Penyusunan APBD belum memenuhi prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.
2) Kemampuan masyarakat atau aktivis di LSM dan pers berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan tentang anggaran masih kurang.
3) APBD belum menjadi dokumen publik.

Advokasi APBD
Advokasi APBD adalah upaya yang terencana dalam rangka mempengaruhi kebijakan penganggaran (Perencanaan, pembahasan, penegsahan, pelaksanaan, pengawasan) di daerah agar lebih berpihak kepada kepentingan publik.
Kenapa perlu advokasi?
1) Menjaga amanat rakyat (persepsi Pemda dan DPRD)
2) Melindungi kepentingan rakyat
3) Banyak terjadi penyimpangan/penyelewengan/penyalagunaan anggaran.
4) Pengawasan proses anggaran (DPRD, Bawasda) lemah.
5) Akuntabilitas Pemda dan DPRD lemah.
6) Kurangnya kesadaran masyarakat dan hak-hak dalam penganggaran.
Terpenting dalam advokasi adalah menyebarkan ”virus” transparansi dengan cara menyadarkan masyarakat bahwa APBD itu adalah milik rakyat, bukan rahasia negara seperti strategi perang sehingga rakyat perlu mengawal pada setiap level (perencanaan, pembahasan, pengesahan, dan pelaksanaan) anggaran. Tentu salah satunya lewat workshop seperti ini dan proses pembelajaran berikutnya.

------------------
Penulis adalah pengamat sosial dan staf pengajar di FPPK Unipa. Disampaikan pada ”Workshop Reposisi peran Masyarakat Sipil dalam Penentuan Kebijakan Publik” Lembaga Data dan Informasi Pembangunan (LDIP), Hotel Fujita, Manokwari, Jumat, 4 April 2008.